Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara tidak tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber mata air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.
Selain bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat tinggal di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang terdapat di laut. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak selain tulang-tulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang (remis) dan siput yang membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai mengenal tradisi melukis di dinding-dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba tergantung pada alam.
( Pola Hunian Masyarakat Pra Aksara, Muh. Fadhila, Academia.edu)
Wisata Situbondo || Terkonfirmasi dari Wawan, warga Dukuh Samir, Dusun Selatan, Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Adalah sahabat kami yang bersedia membantu menjadi penunjuk arah (ranger) untuk menelusuri beberapa titik lokasi yang diduga gua sebagai tempat tinggal dan peristirahatan masyarakat jaman lampau.
Andi dan Irwan, pagi ini (2/7) menjemput mimin untuk turut serta dalam kegiatan ekspedisi TCB (tim cagar budaya) Yayasan Museum Balumbung Situbondo. Setelah persiapan perbekalan dan beberapa data informasi yang di dapat, kami bertiga bergegas menuju kediaman Wawan yang ada di Dukuh Samir, yang kebetulan juga berada di pinggiran aliran sungai purba Lewung.
Sungai purba Lewung |
Perjalanan dari titik kota Kecamatan Asembagus menuju Samir, membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit. Setelah kami bertemu dengan Wawan, titik pertama yang kami tuju adalah ujung jalan yang ada di tengah hutan blok Pakis yang ada di Samir.
Kami berempat menyeberang sungai Lewung yang arusnya deras dengan jembatan kayu seadanya. Membelah semak belukar dengan jalur tanjakan yang tidak terlalu tinggi, sampailah kami di tujuan.
Jembatan darurat menuju Accenan 1 |
Analisa kami saat ada di cerukan tanah bertebing tersebut adalah sebuah "Accenan".
Masyarakat lokal menyepakati hunian tinggal sementara yang telah digunakan oleh masyarakat lokal sejak jaman dahulu terbagi 2, yaitu Accenan dan Gua.
Pencarian mata air oleh tim ekspedisi |
Terlihat sama-sama berbentuk cerukan pada tebing hanya saja yang membedakan adalah ukuran, volume dan fungsi.
Accenan, berupa cerukan tebing yang biasanya berukuran lebih kecil, cukup dipakai atau ditempati 2-6 orang saja. Berfungsi sebagai hunian sementara pada saat mereka berteduh baik karena cuaca hujan atau cuaca panas saat mereka berburu atau bercocok tanam. Jika diibaratkan saat ini adalah gubuk sawah atau rangghun.
Menembus hutan jati menuju accenan |
Bersama ranger Wawan, warga lokal |
Sedangkan goa, memiliki cerukan lebih besar, dimensi ruang dalam lebih besar mampu menampung 20-40 orang seperti kelompok masyarakat dan mereka tinggal lebih lama didalamnya. Ibarat hunian rumah tinggal saat ini.
Bentuk fisik salah satu accenan |
Lokasi accenan atau gua kecil pertama yang kami datangi berada di sisi selatan sungai Lewung, berjarak kurang lebih 50 meter dengan ketinggian tidak kurang dari 10 meter dari permukaan tanah. Terdapat rembesan air yang menetes dari dinding atap accenan.
Setelah kami lakukan pendokumentasian, menentukan titik koordinat dan membuat data survey, perjalanan kami lanjutkan pada titik kedua.
Pada titik kedua, kami harus menyebrangi sungai dengan turun langsung ke sungai Lewung tersebut. Cukup menjadi uji nyali bagi kami karena saat menyeberang sungai juga harus fokus dan berhati-hati akibat derasnya sungai Lewung.
Track tanjakan yang terjal dan sangat menantang menjadikan perjalanan ini lebih berat. Lutut mimin terasa ngilu pada perjalanan menelusuri dinding tebing pada ketinggian kurang lebih 15 meter dan mengharuskan istirahat sendirian. Sedangkan Irwan, Andi dan Wawan melanjutkan perjalanan menyisir dinding tebing.
Menembus derasnya arus sungai purba |
Sungguh perjalanan keren dan menantang kali ini, tim ekspedisi dalam menelusuri jejak hunian masyarakat purba di wilayah timur Situbondo ini.
30 menit berlalu, laporan Andi menyatakan untuk titik kedua dinyatakan gagal sampai pada gua yang dimaksud.
Karena faktor jalur yang lumayan jauh dan harus naik bukit terjal lagi dan turun curah. Akhirnya kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati perbekalan nasi bungkus sodu yang telah dipersiapkan dari rumah tadi.
Andi TCB YMBS menelusuri dalam gua |
Perjalanan kami berlanjut pada titik gua ketiga pada pukul 10.30 WIB. Lokasinya dekat dengan pemukiman warga sekitar, berada di sisi utara sungai Lewung kurang lebih 100 meter, menghadap ke arah selatan, pada ketinggian kurang lebih 15-17 meter diatas permukaan tanah.
Di depan mulut goa titik ekspedisi ke 3 |
Untuk kali ini, kami identifikasi cerukan ini adalah gua. Pintu lobang sangat besar, cerukan lebih dalam dari titik awal yang kami datangi, jika diperkirakan ruangan gua mampu menampung lebih dari 20 orang. Hanya saja kami tidak menemukan sampah dapur tinggalan mereka.
Bibir gua terdapat lobang seperti jendela angin yang mempermudah sirkulasi udara ke dalam gua. Suhu ruangan terasa lebih sejuk juga terdapat rembesan air dari dinding atap gua.
Setelah kami melakukan identifikasi fisik, penentuan titik koordinasi dan pendokumentasian gambar visual, kami pun turun karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB.
Perjalanan kami lanjutkan menuju titik cerukan yang keempat. Lokasinya sangat dekat dengan rumah warga sekitar, berada di sisi utara sungai Lewung. Ketinggian cerukan tebing kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Bibir cerukan tidak terlalu besar kedalaman kurang lebih 2,5 meter. Daya tampung kurang lebih 5-7 orang saja.
Accenan ini sangat mudah di jangkau dan sangat dekat dengan akses jalan setapak di sekitar areal kadang milik warga. Posisi bibir accenan menghadap ke timur. Tidak terlalu lama kami berada di accenan keempat ini karena kamipun tidak menemukan sampah dapur gua seperti yang kami harapkan.
Perjalananan kami menuju kediaman Wawan sebagai titik akhir untuk beristirahat dan kami pun undur diri untuk kembali ke Museum Balumbung Situbondo untuk membuat laporan kegiatan weekend hari ini.
Oke gaesss... Kilas peristiwa kegiatan kami dalam ekspedisi menelusuri jejak tinggalan hunian masyarakat purba, semoga menjadi sebuah wawasan dan pengetahuan bagi kita semua, semoga bermanfaat.
Salam lestari, salam budaya Indonesia
Support by :
Posting Komentar